“Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.” ucapku lirih di dalam hati.
Malam itu adalah malam terakhir kami bertemu. Aku, Ahdi dan Riyo telah menjalin persahabatan sejak di bangku SMA. Kami saling bertukar kata, memadu tubuh, dan berbagi pandangan penuh arti.
“Apa yang aku inginkan mungkin sesuatu yang tak bisa ku dapat darimu..”
Perlahan dia menggenggam tanganku. Dan berkata,”Apa yang kau inginkan? Mungkin aku bisa membantumu!”.
“Tak mungkin..”, aku berdiri dan menjauh darinya.
“Di..Di..ayolah..jangan seperti ini..”, rengeknya terdengar namun tak ku hiraukan.
“Come on, Di..don’t treat me like this..”
Aku hanya bisa memandangnya. ”Baiklah..ku harap kau siap menerimanya..”.
Lantas, aku langsung mengambil langkah jauh, mataku memandangnya seakan menembus jiwanya.
Setelah ada suatu tanda –entah apa, yang jelas aku rasakan-, aku berlari, dan menghempaskan kegelisahanku dan kebimbanganku.
Riyo melompat dari tempatnya berdiri dan mencoba menjangkau, namun sayang tak bisa. Dan..GOOOLLL!!!
Bola itu menghujam ke kiri atas, merobek gawangnya, dan mengubah skor menjadi 4-5 untuk kemenangan timku di fase adu penalti ini.
Semua teman-temanku mengerubungiku seperti lebah terhadap madu. Senyum dan gelak tawa menyambut golku. ”Ah, mereka tak tahu jika hal ini menyakitiku, juga.”
Lalu perlahan aku hampiri Riyo.
“Riyo, bangunlah. Berat memang, tapi mesti kau hadapi.”
Sejenak Riyo memandangku lalu tersenyum pahit,”Ya, aku tahu. Selamat atas kemenanganmu.”
Lalu kami berjalan sampai pelatihku menarik tanganku agar bergabung dengan yang lain merayakan kemenangan tim kami.
“Ku tunggu kau tahun depan..” seru Riyo di antara keriuhan.
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangkat ibu jari tanganku, “Pasti ku tunggu kau, Riyo..Pasti ku tunggu.”
Malam pun berganti pagi, stadion sudah sepi, dan aku masih berdiri ditengahnya.
“Oh, Tuhan..Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.”ucapku lirih di dalam hati.
Malam itu adalah malam terakhir kami bertemu. Aku, Ahdi dan Riyo telah menjalin persahabatan sejak di bangku SMA. Kami saling bertukar kata, memadu tubuh, dan berbagi pandangan penuh arti.
“Apa yang aku inginkan mungkin sesuatu yang tak bisa ku dapat darimu..”
Perlahan dia menggenggam tanganku. Dan berkata,”Apa yang kau inginkan? Mungkin aku bisa membantumu!”.
“Tak mungkin..”, aku berdiri dan menjauh darinya.
“Di..Di..ayolah..jangan seperti ini..”, rengeknya terdengar namun tak ku hiraukan.
“Come on, Di..don’t treat me like this..”
Aku hanya bisa memandangnya. ”Baiklah..ku harap kau siap menerimanya..”.
Lantas, aku langsung mengambil langkah jauh, mataku memandangnya seakan menembus jiwanya.
Setelah ada suatu tanda –entah apa, yang jelas aku rasakan-, aku berlari, dan menghempaskan kegelisahanku dan kebimbanganku.
Riyo melompat dari tempatnya berdiri dan mencoba menjangkau, namun sayang tak bisa. Dan..GOOOLLL!!!
Bola itu menghujam ke kiri atas, merobek gawangnya, dan mengubah skor menjadi 4-5 untuk kemenangan timku di fase adu penalti ini.
Semua teman-temanku mengerubungiku seperti lebah terhadap madu. Senyum dan gelak tawa menyambut golku. ”Ah, mereka tak tahu jika hal ini menyakitiku, juga.”
Lalu perlahan aku hampiri Riyo.
“Riyo, bangunlah. Berat memang, tapi mesti kau hadapi.”
Sejenak Riyo memandangku lalu tersenyum pahit,”Ya, aku tahu. Selamat atas kemenanganmu.”
Lalu kami berjalan sampai pelatihku menarik tanganku agar bergabung dengan yang lain merayakan kemenangan tim kami.
“Ku tunggu kau tahun depan..” seru Riyo di antara keriuhan.
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangkat ibu jari tanganku, “Pasti ku tunggu kau, Riyo..Pasti ku tunggu.”
Malam pun berganti pagi, stadion sudah sepi, dan aku masih berdiri ditengahnya.
“Oh, Tuhan..Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.”ucapku lirih di dalam hati.